Refleksi Akhir Tahun: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan

1 day ago 6
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan (MI/Seno)

MERUJUK pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual; dan 1 dari 5 perempuan Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) setahun terakhir.

Sementara itu, berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2024, tingkat kasus kekerasan berbasis gender online (KGBO) atau kekerasan digital melonjak 40,8% dengan berbagai bentuknya, baik ancaman online, kekerasan seksual berbasis siber, sexploitation, pelanggaran privasi, penipuan, dan penyebaran foto/gambar pribadi tanpa seizin pemilik dan sebagai salah satu bentuk KGBO.

Selain berbagai bentuk kekerasan tersebut, mandat dalam UU TPKS No 12 Tahun 2022, pemaksaan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Demikian halnya dengan prevalensi sunat perempuan di Indonesia yang masih tinggi.

Meskipun tingkat kekerasan di Indonesia angkanya lebih rendah daripada rata-rata global, dan menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menjadi problem serius dalam pemenuhan hak-hak perempuan di Indonesia. Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang dirayakan setiap 25 November-10 Desember 2025 menjadi momen yang penting untuk melakukan refleksi dan sekaligus menguatkan aksi bersama untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan ini akan memengaruhi kesejahteraan hidup perempuan saat ini dan masa depannya.

Jika kita merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yaitu aspek ekonomi/pekerjaan, pendidikan, kesehatan; tingkat partisipasi perempuan dan aspek kekerasan terhadap perempuan artinya bahwa salah satu indikator kesejahteraan hidup perempuan ialah tidak mengalami kekerasan dalam hidupnya, apakah kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, baik di ranah publik maupun ranah domestik.

Kekerasan terhadap perempuan ini, selain pelanggaran hak asasi manusia, berdampak pula pada berbagai aspek kehidupan perempuan, dan sangat kompleks. Dampak yang dirasakan tidak hanya fisik, tapi juga psikologis dan sosial. Korban kekerasan akan mengalami trauma yang berkepanjangan bahkan stres, depresi, ataupun rasa ingin bunuh diri. Korban bahkan bisa mengalami kejadian traumatis dan gangguan mental. Bahkan akan menganggu kehidupan dan aktivitasnya sehari-hari karena hilang rasa percaya diri, malu, dan minder. Padahal dia tidak bersalah sebagai korban. Begitu dasyat dan kompleksnya dampak kekerasan bagi korban dan keluarganya.

MENGAPA TINGKAT KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TINGGI?

Untuk merefleksikan bagaimana perjalanan, proses, dan tantangan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di akhir 2025 ini, paling tidak kita dapat membaca bagaimana implementasi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004. Meski tahun ini UU tersebut sudah berjalan selama 23 tahun sejak disahkan, angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi, termasuk kasus femisida dan filisida. Fenomena ini menggambarkan bahwa UU ini masih jauh dari harapan untuk mengurangi dan mencegah kekerasan dalam rumah tangga.

Kuatnya norma sosial budaya dalam masyarakat tentang menjaga kehormatan keluarga, konsep kepatuhan istri kepada suami, bahwa jika ada kesalahan suami istri harus merahasiakan sekalipun istri mengalami kekerasan, adalah beberapa contoh kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat yang menghambat kasus KDRT diselesaikan secara adil dan berpihak kepada korban. Dengan alasan menjaga martabat suami dan keluarga, kasus KDRT tersimpan rapat dalam dinding-dinding kamar yang sepi, dan menganggap kasus KDRT adalah masalah personal, bukan pelanggaran HAM, melukai harkat martabat korban sebagai manusia.

Pada sisi aparat penegak hukum, tidak jarang korban KDRT yang sudah menjadi korban disalahkan, diminta berdamai dengan laki-laki yang sudah melakukan kekerasan kepadanya, pulang kembali untuk memperbaiki hubungan padahal istri sudah menderita. Rumah aman (selter) yang akan melindungi korban dari pelaku tidak selalu tersedia, bahkan korban kebingungan harus melapor ke mana.

DP3A dan UPTD yang merupakan mandat dari undang-undang belum semua tersedia di daerah, dan jikapun tersedia, layanan yang diberikan belum maksimal. Itulah mengapa korban KDRT sering kali tidak melapor ataupun mencabut laporannya karena proses yang rumit, kompleks, dan kurang responsif dalam penanganan korban KDRT. Perjalanan 23 tahun UU PKDRT masih jauh di angan-angan untuk mampu melindungi perempuan dari kekerasan terhadap perempuan.

Demikian halnya dengan perjalanan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No 12 Tahun 2022. Disahkannya UU ini sangat menggembirakan gerakan perempuan Indonesia yang memang mencari keadilan melalui payung hukum. Namun, perjalanan 3 tahun sejak disahkan pada April 2022 masih perlu upaya keras untuk mendesakkan bagaimana UU ini diimplementasikan. Sekalipun sudah disahkan peraturan pemerintah dan perpres, dalam realitasnya susah untuk diwujudkan. Belum semua kepala daerah berkepentingan untuk melaksanakan, atau menganggap kasus kekerasan terhadap perempuan tidak penting sekalipun menjadi indikator untuk mengukur kesejahteraan perempuan yang dikeluarkan oleh PBB.

Perpres tentang UPTD PPA (Unit Pelayanan Teknis Daerah) Perlindungan Perempuan Anak yang merupakan mandat UU TPKS No 12 Tahun 2022 belum semuanya terbentuk. Baru di 389 daerah dan provinsi yang membentuk UPTD PPA, atau sekitar 73%. Bahkan di beberapa daerah yang sudah terbentuk, UPTD PPA kurang maksimal. Misalnya karena problem kelembagaan yang digabung dengan dinas yang lain (KB, Kemensos) sehingga penanganan tidak maksimal.

Belum lagi problem ketiadaan rumah aman, ketiadaan konselor, ketiadaan tenaga ahli hukum, yang semakin memperburuk kinerja UPTD di daerah. Alokasi anggaran yang disediakan pun kecil. Bagaimana akan menjangkau korban apalagi di daerah pelosok/remote. Kondisi ini tentu menjadi hambatan dalam menangani berbagai kasus kekerasan seksual yang masih tinggi dan makin kompleks jenisnya.

Problem lain terkait dengan peraturan turunan atas UU TPKS ini ialah peningkatan kapasitas untuk aparat penegak hukum (APH) dan dana bantuan korban tindak pidana kekerasan seksual. Minimnya alokasi anggaran menyebabkan peningkatan kapasitas dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan tidak berjalan. Tidak sedikit aparat yang kurang memiliki perspektif berpihak kepada korban dan cenderung menyalahkan korban. Inilah salah satu alasan korban tidak melapor karena akan mendapatkan stigma dan menjadi korban kekerasan lagi ketika berproses mencari keadilan.

Pembacaan atas perjalanan implementasi atas kedua UU ini menjadi penting bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan masih menemukan banyak pekerjaan rumah.

PERINGATAN 16 HAKTP: MENGAKHIRI KEKERASAN SEKSUAL DI RUANG DIGITAL

Tema 16 HAKTP tahun 2025 ialah Unite to end digital violence against all women and girls, sebuah seruan untuk bersatu mengakhiri kekerasan digital terhadap perempuan dan anak perempuan. Tema ini sangat relevan di era digital saat ini, apalagi angka kekerasan berbasis gender online (digital) terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Dunia digital yang harusnya membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi perempuan, justru menjadi ruang yang rentan terjadinya kekerasan seksual dengan beragam bentuknya. Lemahnya literasi digital anak-anak dan remaja menjadikan mereka menjadi korban kekerasan seksual di ruang digital. Anak-anak perempuan khususnya tidak memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mencegah kekerasan di ruang digital.

Kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat memperparah kasus kekerasan seksual dalam dunia maya. Kekerasan seksual tetap terjadi, hanya ruangnya semakin luas. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga dunia maya. Dan, ternyata perangkat untuk menjerat pelaku belum sepenuhnya tersedia sekalipun kekerasan digital sudah diatur dalam UU TPKS. Peringan 16 HAKTP dengan tema kekerasan digital ini menjadi momen untuk merefleksikan bagaimana bergerak bersama untuk mengakhiri kekerasan seksual di ruang digital. Semua ruang harus aman bagi siapa pun, khususnya perempuan, sehingga tidak mengalami kekerasan.

Read Entire Article